Cara ini itu - SEBAGAI makhluk sempurna, manusia juga memiliki rasa
cinta. Sebuah rasa yang jika benar-benar dilandasi iman akan
menghadirkan kekuatan super dahsyat yang mampu menjadi motor penggerak
perubahan.Cinta yang tumbuh karena iman adalah bahtera terbaik untuk sukses
mengarungi samudera kehidupan di dunia dan akhirat. Demikianlah cinta
antara Nabi Ibrahim dan Siti Hajar, Nabi Muhammad dan Sayyidah Khadijah,
serta cinta Sayyidina Ali dengan Fatimah Az-Zahrah. Itulah mengapa
Islam sebagai sebuah peradaban memandang cinta sebagai perkara utama.
Tidak salah jika kemudian muncul ungkapan bahwa, peradaban juga
dimulai dari ranjang. Karena Islam sebagai agama tidak melewatkan satu
perkara pun dalam kehidupan ini, melainkan telah mengaturnya dengan
sedemikian rupa, termasuk dalam perkara bercinta.
Bahkan jauh sebelum ke ranjang, setiap Muslim harus benar-benar
teliti, cermat, dan cerdas dalam menentukan siapa pasangan yang tepat
dalam kehidupannya, sehingga semakin kokoh keimanan, semakin kuat
ketakwaan, dan semakin menggelora ketaatan dalam menapaki jalan
kebenaran. Inilah cinta yang benar.
Rasulullah menjelaskan bahwa ada empat syarat utama untuk melihat
calon pasangan. Mulai dari kecantikan, keturunan (nasab), kekayaan,
hingga keyakinan (agama). Dan, dari semua kriteria itu, keyakinan
(agama) adalah yang utama harus diprioritaskan.
“Wanita itu dinikahi karena empat hal: karena harta, keturunan,
kecantikan, dan agamanya. Pilihlah wanita yang beragama, niscara engkau
beruntung.” (HR. Bukhari dan Muslim).
Tuntunan Nabi dalam Bercinta
Maka tidak heran jika Rasulullah memberi petunjuk yang sangat
sempurna terkait urusan cinta ini, sehingga tidak saja mendatangkan
kenikmatan ragawi, tetapi juga menyehatkan jiwa dan menentramkan hati.
Nah, di era modern ini, cara bercinta Nabi adalah cara paripurna
untuk menjaga keharmonisan rumah tangga, sehingga tidak ada yang lebih
indah bagi seorang suami melainkan istrinya sendiri. Dan, tidak ada yang
sangat menawan bagi seorang istri, selain suaminya sendiri. Dalam
spirit cinta mereka, tertanam harapan kuat, akan lahirnya generasi
rabbani, generasi qur’ani yang hidup untuk mengabdi kepada Allah demi
menjayakan Islam dan umat Islam.
Lantas, bagaimanakah cara terbaik untuk memperagakan kehidupan special itu sehari-hari bersama istri atau suami?
Pertama, ciptakanlah suasana rumah yang romantis.
Suasana rumah yang membuat suami betah di dalam rumah. Dan, selalu siap
bercinta dengan pasangan setiap kehendak untuk hajat terindah kehidupan
dunia itu muncul dari suami (pasangan). Para pria sering lalai urusan
romantisme ini. Padahal banyak wanita suka dengan suasana romantis.
Kedua, jangan suka menunda dan menolak. Nabi yang
melarang seorang istri menolak ajakan suami. Umumnya pria agresif sedang
wanita pemalu. Dalam sebuah hadits dituturkan, Rasulullah bersabda: “Jika
seorang istri dipanggil oleh suaminya karena hajat biologisnya, maka
hendaknya segera datang, meski dirinya sedang sibuk.” (HR Turmudzi).
Dalam sebuah hadits riwayat Ibnu Umar, Rasulullah bersabda: “Allah
melaknat wanita yang menunda-nunda, yaitu seorang istri ketika diajak
suaminya ke tempat tidur, tetapi ia berkata, ‘nanti dulu’, sehingga
suaminya tidur sendirian.” (HR Khatib).
Dalam hadis lain dituturkan: “Jika suami mengajak tidur istrinya,
lalu sang istri menolak, yang menyebabkan sang suami marah kepadanya,
maka malaikat akan melaknat istri tersebut sampai pagi tiba.” (HR Bukhari dan Muslim).
Bagi mereka yang terserang virus feminisme, mungkin makna hadits itu
bisa diselewengkan. Tetapi, jika kita kaji lebih dalam, sebenarnya
hadits itu mengajak para istri untuk mampu menciptakan suasana rumah
tangga yang hangat penuh gelora cinta.
Dengan kata lain, istri harus mempersiapkan segalanya demi kenikmatan
bercinta bersama suami. Dan, istri yang cerdas, tidak akan pernah
menemui suaminya dalam kondisi terpanggil, tetapi menyerahkan diri
dengan sepenuh hati. Dengan cara seperti itu, Insya Allah, kehidupan
rumah tangga akan bahagia selamanya.
Ketiga, mengatur waktu. Suami juga jangan sampai
salah paham. Hadits di atas tidak berarti suami punya hak memaksa. Suami
juga harus tahu diri, apakah para istri dalam keadaan kelelahan setelah
bekerja seharian di rumah atau tidak. Maka sebaiknya masalah ini saling
memahami. Suami-istri sebaiknya bisa mengatur waktu, sehingga
aktivitas bercinta dapat terlaksana sesuai dengan yang seharusnya. Jadi, berusahalah untuk bisa mengatur waktu, sehingga terciptalah keharmonisan rumah tangg.
Keempat, bercintalah sesuai tuntunan Nabi. Proses
bercinta adalah bagian dari iman, maka pelaksanaannya pun harus sesuai
tuntunan Nabi. Tidak boleh keluar dari koridor yang telah ditetapkan
oleh Islam. Sebab bercinta (making love) bukan sekedar pemuasan diri,
tetapi juga proses persiapan melahirkan generasi rabbani. Oleh karena
itu, aktivitas bercinta harus juga karena Allah Subhanahu Wata’ala dan
diniatkan karena ibadah, bukan sekedar kesenangan biologis semata.
Kelima, pada tempat yang benar secara syariat. Mendatangi istri pada tempatnya (farji) bukan yang lain (dubur/anal). Jika sampai hal itu terjadi, maka baginya laknat Allah Subhanahu Wata’ala. Rasulullah bersabda, “Allah tidak akan melihat orang yang menyetubuhi seorang laki-laki atau isterinya pada bagian dubur.” (HR. Tirmidzi dan Nasa’i).
Itulah mengapa Islam tidak mengenal konsep homo-seksual atau
lesbianisme. Karena alat kelamin manusia diciptakan oleh-Nya bukan
semata untuk memuaskan keinginan, tetapi juga melahirkan generasi. Jadi,
aktivitas bercinta yang tidak sesuai syariat Islam adalah haram.
Akan tetapi Islam memberi kebebasan suami istri dalam melakukan
hubungan intim terkait dengan gaya yang dipilih. Hal ini Allah tegaskan
dengan sebuah ilustrasi yang sangat gamblang, terkait bagaimana gaya
suami bertemu istri.
نِسَآؤُكُمْ حَرْثٌ لَّكُمْ فَأْتُواْ حَرْثَكُمْ أَنَّى شِئْتُمْ
وَقَدِّمُواْ لأَنفُسِكُمْ وَاتَّقُواْ اللّهَ وَاعْلَمُواْ أَنَّكُم
مُّلاَقُوهُ وَبَشِّرِ الْمُؤْمِنِينَ
“Isteri-isterimu adalah (seperti) tanah tempat kamu
bercocok-tanam, maka datangilah tanah tempat bercocok-tanammu itu
bagaimana saja kamu kehendaki.” (QS. Al-baqarah [2]: 223).
Ibn Katsir dalam tafsir ayat tersebut juga mengutip sebuah hadits yang diriwayatkan oleh Bukhari, Muslim dan Abu Dawud.
“Isteri-isteri kalian adalah (seperti) lahan tempat kamu bercocok
tanam, maka datangilah lahan tempat bercocok tanam itu bagaimana saja
kamu kehendaki”.
Bahkan lebih tegas Rasulullah juga pernah bersabda, “Datangilah mereka dengan cara bagaimanapun selama masih pada kemaluan.” (HR. Ahmad).
Keenam, bersih dan berhias diri seindah/sewangi
mungkin. Sudah fitrah manusia suka melihat yang indah dan mencium yang
harum. Oleh karena itu, Islam mengajarkan agar suami istri untuk suci,
bersih dan berhias diri sebelum melakukan jima’. Dengan cara
seperti itu, maka hasrat cinta akan tetap terjaga, sehingga terciptalah
keharmonisan rumah tangga yang luar biasa.
Rasulullah mengingatkan kepada para suami, agar tidak menyetubuhi
istri mereka dalam keadaan nifas dan haid. Dalam sebuah hadis Rasulullah
bersabda: “Barangsiapa yang bersenggama dengan wanita yang sedang
haid, atau menyetubuhi wanita dari dubur (lubang anus)-nya, atau
mendatangi paranormal (ahli tenung), dan mempercayai ramalannya, Maka
sejatinya ia telah kufur (ingkar) dengan apa-apa yang diturunkan kepada
Muhammad.” (HR Abu Daud).
Ketujuh, kemesraan dan rayuan. Bahkan, suami dan
istri boleh bermesra-mesraan ketika sang istri sedang haid, selama tidak
dilanjutkan dengan hubungan sanggama di antara mereka. Aktivitas
bermesra-mesraan ini dalam dunia fiqh biasa disebut dengan istilah
istimta’, yang berarti bersenang-senang, berlezat-lezat, atau
bernikmat-nikmat. Jadi, awalilah pertemuang dengan suami atau istri
dengan bercumbu rayu.
Banyak para suami melupakan masalah ini. Seolah-oleh yang terpenting
hanyalah menunaikan syahwat dan hasrat sesegra mungkin. Padahal, rayuan
dan pemanasan (foreplay) sebelum jima’ memiliki pengaruh yang besar dalam membangkitkan syahwat istri dan meningkatkan keingannya untuk berhubungan.
Dari Ibnu Qudamah; ”Dianjurkan (disunahkan) agar seorang suami
mencumbu istrinya sebelum melakukan jima’ supaya bangkit syahwat
istrinya, dan dia mendapatkan kenikmatan seperti yang dirasakan
suaminya. Dan telah diriwayatkan dari ‘Umar bin ‘Abdul ‘Aziz
rahimahullah bahwasanya dia berkata:”Janganlah kamu menjima’ istrimu,
kecuali dia (istrimu) telah mendapatkan syahwat seperti yang engkau
dapatkan, supaya engkau tidak mendahului dia menyelesaikan jima’nya
(maksudnya engkau mendapatkan kenikmatan sedangkan istrimu tidak).
Dan termasuk bentuk cumbu rayu adalah berciuman, memainkan bagian
tunuh dan bersentuhan kulit dengan kulit. Rasulullah shallallahu ‘alaihi
wasallam dahulu mencium istrinya sebelum jima’. Dan beliau shallallahu
‘alaihi wasallam bersabda kepada Jabir radhiyallahu ‘anhu ketika dia
menikah dengan janda:
“فهلا بكراً تلاعبها وتلاعبك” (رواه الشيخان)، ولمسلم “تضاحكها وتضاحكك”
“Kenapa tidak gadis (yang engkau nikahi) sehingga engkau bisa
mencumbunya dan dia mencumbumu?” (HR. Biukhari dan Muslim) dan dalam
riwayat Muslim:”Engkau bisa mencandainya dan dia mencandaimu?”
Delapan, berdoa, ini aktivitas paling penting
sebelum berdoa. Dalam sebuah hadis yang diriwayatkan Abdullah bin Abbas
dituturkan, Rasulullah bersabda: “Jika salah seorang diantara
kalian hendak mencampuri istrinya, maka hendaknya sebelum senggama
membaca doa: بِسْمِ اللهِ اللَّهُمَّ جَنِّبْنَا الشَّيْطَانَ وَجَنِّبِ
الشَّيْطَانَ مَا رَزَقْتَنَا
“Bismillah, Allahumma jannibnaa asy-syaithan, wa jannib asy-syaithana
ma razaqtana” (Dengan menyebut nama Allah. Ya Allah jauhkanlah kami
dari Setan. Dan jauhkan setan dari apa-apa yang Engkau karuniakan kepada
kami (anak keturunan).
Dengan memanjatkan doa, diharapkan anak yang lahir dari buah
percintaan bisa menjadi anak yang sholeh-sholehah dan takwa kepada Allah
Subhanahu Wata’ala. Dengan berdoa, kata Nabi, “Kemudian dia dikaruniai seorang anak, maka setan tidak akan memberikan madharat kepadanya selamanya.” (HR. al-Bukhari dan Muslim).
Sebagian ulama berpendapat, makna sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa
sallam, “Setan tidak akan memberikan madharat kepadanya selamanya.” Di
antara pendapat itu mengatakan, dengan berdoa saat jima’ setan tidak
mampu menguasai anak ini, karena keberkahan bacaan basmalah. Sehingga
mereka termasuk di antara hamba Allah, yang Allah sebut dalam al-Quran,
di mana setan tidak memiliki kekuatan untuk mengalahkan mereka.
Allah berfirman tentang mereka yang artinya, “Sesungguhnya,
hamba-hamba-Ku tidak ada kekuasaan bagimu terhadap mereka, kecuali
orang-orang yang mengikut kamu, yaitu orang-orang yang sesat.” (QS. al-Hijr: 42).
Pendapat lain mengatakan, jika kita berdoa, setan tidak bisa ikut
bergabung bersama sang suami untuk menyetubuhi istrinya. Sebagaimana
riwayat dari Mujahid, beliau mengatakan;
“Sesungguhnya, orang yang ber-jima’ dan dia tidak membaca
basmalah (doa sebelum jima’), maka setan membelit kemaluan orang ini dan
ber-jima’ bersamanya.” Ibnu Hajar mengatakan, “Barangkali, inilah pendapat yang paling mendekati.” (Fatwa al-Islam: Tanya-Jawab, no. 21734)
Berwudhu
Jika suami selesai melakukan hubungan dan ingin mengulanginya
lagi,Rasulullah menganjurkan berwudhu terlebih, sebagaimana sabdanya:
“إذا أتى أحدكم أهله ثم أراد أن يعود فليتوضأ [بينهما وضوءا] وفي رواية: وضوءه للصلاة فإنه أنشط في العود ”
“Apabila kamu telah selesai mendatangi isterinya dan ingin
mengulanginya lagi,maka hendaklah berwuduklah di antara keduanya
(hubungan seks) ,dan dalam riwayat lain: Wuduk seperti wuduk solat
kerana ianya memberi kecergasan dan mengulanginya lagi”. (HR Imam Muslim
(1/171), Ibnu Abi Syaibah)
Dengan demikian, maka akan terciptalah keharmonisan suami istri,
keluarga sakinah mawaddah wa rahmah. Jadi, jangan salah, Islam juga
punya aturan tentang cinta. Menariknya apa yang Islam syariatkan dalam
hubungan suami istri adalah suatu aturan yang sesuai dengan nurani
manusia. Selamat hidup hidup sehat dan bahagia, tentusaja, dengan cara
Rasulullah agar mendapat berkah, terutama anak-anak yang sholeh dan
sholihah.*/Imam Nawawi
Sumber: http://hidayatullah.com
Posting Komentar untuk "Cara bercinta Ala Nabi"